BANDUNG, KOMPAS - Maestro seni
karawitan, Nano Suratno (66), meninggal dunia di Ruang Perawatan
Intensif Rumah Sakit Immanuel, Bandung, Rabu (29/9) pukul 23.30.
"Pecahnya pembuluh darah di kepala yang mengakibatkan stroke akut
menjadi penyebab wafatnya bapak," kata anak sulung Nano, Redhiana
Langen Tresna, Kamis. Jenazah Nano S dimakamkan di Ciseureuh Mohammad
Toha, Bandung.
Sebelumnya,
Nano S masuk RS Immanuel setelah terjatuh saat mengerjakan tulisan
perjalanan rombongan gamelan di Belanda dan Belgia, Sabtu sekitar pukul
24.00. Akibatnya, pembuluh darah di kepala bagian belakang pecah
sehingga ia harus segera dilarikan ke rumah sakit.
Nama
besar Nano sebagai seniman karawitan cukup tersohor. Murid langsung
tokoh musik angklung Daeng Soetigna dan Mang Koko ini rajin memadukan
musik karawitan dengan kesenian lain, seperti pop Sunda, sajak, hingga
alat musik kontemporer. Beberapa lagunya yang populer, seperti
"Kalangkang" yang dipopulerkan Nining Meida, "Cinta Ketok Magik" oleh
Evie Tamala, serta "Cinta" oleh Hetty Koes Endang.
Karyanya juga dikenal di mancanegara. Bapak tiga anak ini kerap diundang tampil di Jepang, Amerika, Belanda, dan sejumlah negara lain untuk menampilkan karawitan Sunda. Namun, tidak sekadar mempertontonkan karawitan Sunda, ia juga gemar mengolaborasikan karyanya dengan alat musik setempat, seperti kotochi dan samisen di Jepang dengan kecapi dari Jawa Barat.
Seniman tari Sunda, Nano muda, mengatakan, Nano adalah seniman pekerja keras dan penuh dedikasi. (CHE)
Karyanya juga dikenal di mancanegara. Bapak tiga anak ini kerap diundang tampil di Jepang, Amerika, Belanda, dan sejumlah negara lain untuk menampilkan karawitan Sunda. Namun, tidak sekadar mempertontonkan karawitan Sunda, ia juga gemar mengolaborasikan karyanya dengan alat musik setempat, seperti kotochi dan samisen di Jepang dengan kecapi dari Jawa Barat.
Seniman tari Sunda, Nano muda, mengatakan, Nano adalah seniman pekerja keras dan penuh dedikasi. (CHE)

Tidak ada komentar:
Posting Komentar