Cari Blog Ini

Senin, 21 Oktober 2013

Kontroversi BrainWash dalam Terapi Stroke

Sejumlah pasien pascastroke kembali bisa berbicara dan menggerakan tubuh setelah menjalani terapi itu. Masalahnya metode tersebut belum teruji secara ilmiah.

STROKE merupakan penyakit yang identik dengan kecacatan. Tak mengherankan bila penyakit itu menjadi momok bagi masyarakat luas. Penderita dan keluarganya selalu memburu terapi yang dianggap paling baik demi memulihkan kaki yang  lumpuh, mulut yang tak bisa bicara, atau badan yang tak bisa digerakkan akibat stroke.

Salah satu terapi yang ramai dibicarakan masyarakat adalah metode yang disebut brainwash atau brain spa. Dalam sejumlah ulasan di media, metode tersebut dikesankan dapat memulihkan pasien stroke yang parah sekalipun. Pasien yang sudah lumpuh bertahun-tahun disebut-sebut bisa berjalan kembali.  

Terapi yang dijalankan dengan kateterisasi pada pembuluh darah otak oleh dokter spesialis radiologi itu pun menimbulkan kontrovesi. Ketua Persatuan Dokter Spesialis Saraf Indonesia dr Mohammad Hasan Machfoed Sps menulis sebuah ulasan yang tersebar melalui sejumlah media.

Intinya, ia tidak setuju dengan klaim yang menyebut terapi bertarif sekitar Rp 10 juta itu merupakan terapi mujarab untuk mengobati stroke.

"Seolah semua kerak otak bisa dicuci bersih, membuat otak segar bugar, tak peduli berapa tahun seseorang menderita stroke," ungkapnya.

Satu hal yang juga ia persoalkan ialah terapi itu belum melalui uji ilmiah. "Menjadi suatu keharusan di masyarakat ilmiah kedokteran bahwa penemuan suatu obat atau cara pengobatan baru haruslah didahului penelitian bertahap." 

Penelitian bertahap yang dimaksud diawali dengan percobaan binatang. Bila berhasil, itu dilanjutkan dengan uji klinis dengan subjek manusia. Bila berhasil, itu dilanjutkan dengan publikasi ilmiah. Publikasi tersebut untuk memperoleh respons para ahli. Kalau semua prosesi itu berjalan lancar, barulah diajukan kepada otoritas pemberi izin agar bisa digunakan pada masyarakat.

"Memang prosedur ini sangat ketat. Intinya, tidak boleh melakukan trial and error pada manusia. Tampaknya, prosedur brainwash tersebut tidak mengindahkan kaidah ilmiah ini," tuturnya.

Ia juga mempermasalahkan obat-obatan dalam metode tersebut yang jenisnya tak pernah diungkap. Menurut media, sebutnya, brainwash di lakukan untuk menghilangkan sumbatan dengan cara memasukkan obat ke pembuluh darah otak.

"Kalau itu yang dilakukan prosedurnya disebut trombolisis dan obat yang digunakan adalah rt tPA atau urokinase. Pada brainswash tidak jelas obat apa yang dimasukkan karena tidak pernah diumumkan.  

Karena berisiko terjadinya pendarahan otak, trombolisis tidak boleh dilakukan melebihi 8 jam sesudah stroke terjadi." Ia pun menghimbau masyarakat  untuk berhati-hati dalam memilih terapi. 

Kemajuan teknologi
Secara terpisah, dokter spesialis radiologi Terawan Agus Putranto, yang disebut-sebut sebagai pihak yang menerapkan metode brainwash, menjelaskan sejatinya istilah brainwash dan brain spa tidak ada dalam dunia medis. 

"Istilah itu disebarkan dan digunakan masyarakat," tegas dokter yang mendalami bidang radiologi intervensi itu, di ruang praktiknya di RSPAD Gatot Subroto, Jakarta, kemarin.

Dalam dunia kedokteran, yang dimaksud dengan brainwash tidak lain ialah teknik digital subtraction angiography (DSA) yang merupakan bagian dari bidang radiologi intervensi. "Jadi apa yang selama ini kami lakukan ialah teknik DSA dan itu merupakan tindakan medis," tegasnya.   

Secara sederhana, teknik itu dilakukan dengan memasukkan kateter menuju pembuluh darah otak yang bermasalah. Dengan panduan alat radiologi fluoroskopi, melalui kateter itu lalu dilakukan tindakan seperti pemasangan koil (coiling), cincin (stenting), pembalonan (balloning), dan embolisasi atau trombolisis. Jenis tindakan disesuaikan dengan gangguan yang terjadi, apakah penyempitan, penyumbatan, atau penggelembungan pembuluh darah otak.  

Ia mengatakan sejauh ini sejumlah pasien yang ditangani dengan metode tersebut mengalami kemajuan. Pada kesempatan itu, Media Indonesia juga bertemu dengan pasien stroke yang mengaku kembali bisa berbicara dan menggerakkan kaki sesudah menjalani terapi itu.

Menurut Terawan, Januari lalu ia dan timnya menangani sekitar 150 pasien dengan berbagai gangguan pembuluh darah otak. Namun, ia enggan menyebut berapa persen yang membaik dan berapa persen yang gagal.

Dalam menjawab kontroversi yang terjadi, Terawan menganggap itu hal biasa di dunia kedokteran. "Pro dan kontra mengenai terapi ini tidak mengapa terjadi karena kontroversi itu merupakan bagian dari proses kemajuan teknologi," ungkapnya sambil tertawa.

"Bahkan penemuan penisilin pun dulu kontroversial, tapi sekarang hasilnya sangat bermanfaat. Hal terpenting dari semua itu adalah bukti. Yaitu, sudah ada pasien yang membaik. Ini merupakan kegiatan medis, bukan main-main," tegasnya.

Pada akhirnya, keputusan dalam memilih terapi ada di tangan masyarakat.(*/H-1) eni@mediaindonesia.com (Eni Kartinah)   





Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Stroke Bisa Dicegah, siapa Mau?

Kebanyakan orang yang tidak berkesadaran menjalankan gaya hidup sehat,  berpotensi terserang stroke. Wah, menyeramkan sekali !!! Penyebabnya...