Sejumlah pasien pascastroke
kembali bisa berbicara dan menggerakan tubuh setelah menjalani terapi
itu. Masalahnya metode tersebut belum teruji secara ilmiah.
STROKE merupakan
penyakit yang identik dengan kecacatan. Tak mengherankan bila penyakit
itu menjadi momok bagi masyarakat luas. Penderita dan keluarganya selalu
memburu terapi yang dianggap paling baik demi memulihkan kaki yang
lumpuh, mulut yang tak bisa bicara, atau badan yang tak bisa digerakkan
akibat stroke.
Salah
satu terapi yang ramai dibicarakan masyarakat adalah metode yang
disebut brainwash atau brain spa. Dalam sejumlah ulasan di media, metode
tersebut dikesankan dapat memulihkan pasien stroke yang parah sekalipun. Pasien yang sudah lumpuh bertahun-tahun disebut-sebut bisa berjalan kembali.
Terapi
yang dijalankan dengan kateterisasi pada pembuluh darah otak oleh
dokter spesialis radiologi itu pun menimbulkan kontrovesi. Ketua
Persatuan Dokter Spesialis Saraf Indonesia dr Mohammad Hasan Machfoed
Sps menulis sebuah ulasan yang tersebar melalui sejumlah media.
Intinya,
ia tidak setuju dengan klaim yang menyebut terapi bertarif sekitar Rp
10 juta itu merupakan terapi mujarab untuk mengobati stroke.
"Seolah semua kerak otak bisa dicuci bersih, membuat otak segar bugar, tak peduli berapa tahun seseorang menderita stroke," ungkapnya.
Satu
hal yang juga ia persoalkan ialah terapi itu belum melalui uji ilmiah.
"Menjadi suatu keharusan di masyarakat ilmiah kedokteran bahwa penemuan
suatu obat atau cara pengobatan baru haruslah didahului penelitian
bertahap."
Penelitian
bertahap yang dimaksud diawali dengan percobaan binatang. Bila
berhasil, itu dilanjutkan dengan uji klinis dengan subjek manusia. Bila
berhasil, itu dilanjutkan dengan publikasi ilmiah. Publikasi tersebut
untuk memperoleh respons para ahli. Kalau semua prosesi itu berjalan
lancar, barulah diajukan kepada otoritas pemberi izin agar bisa
digunakan pada masyarakat.
"Memang
prosedur ini sangat ketat. Intinya, tidak boleh melakukan trial and
error pada manusia. Tampaknya, prosedur brainwash tersebut tidak
mengindahkan kaidah ilmiah ini," tuturnya.
Ia
juga mempermasalahkan obat-obatan dalam metode tersebut yang jenisnya
tak pernah diungkap. Menurut media, sebutnya, brainwash di lakukan untuk
menghilangkan sumbatan dengan cara memasukkan obat ke pembuluh darah
otak.
"Kalau
itu yang dilakukan prosedurnya disebut trombolisis dan obat yang
digunakan adalah rt tPA atau urokinase. Pada brainswash tidak jelas obat
apa yang dimasukkan karena tidak pernah diumumkan.
Karena berisiko terjadinya pendarahan otak, trombolisis tidak boleh dilakukan melebihi 8 jam sesudah stroke terjadi." Ia pun menghimbau masyarakat untuk berhati-hati dalam memilih terapi.
Kemajuan teknologi
Secara
terpisah, dokter spesialis radiologi Terawan Agus Putranto, yang
disebut-sebut sebagai pihak yang menerapkan metode brainwash,
menjelaskan sejatinya istilah brainwash dan brain spa tidak ada dalam
dunia medis.
"Istilah
itu disebarkan dan digunakan masyarakat," tegas dokter yang mendalami
bidang radiologi intervensi itu, di ruang praktiknya di RSPAD Gatot
Subroto, Jakarta, kemarin.
Dalam
dunia kedokteran, yang dimaksud dengan brainwash tidak lain ialah
teknik digital subtraction angiography (DSA) yang merupakan bagian dari
bidang radiologi intervensi. "Jadi apa yang selama ini kami lakukan
ialah teknik DSA dan itu merupakan tindakan medis," tegasnya.
Secara
sederhana, teknik itu dilakukan dengan memasukkan kateter menuju
pembuluh darah otak yang bermasalah. Dengan panduan alat radiologi
fluoroskopi, melalui kateter itu lalu dilakukan tindakan seperti
pemasangan koil (coiling), cincin (stenting), pembalonan (balloning),
dan embolisasi atau trombolisis. Jenis tindakan disesuaikan dengan
gangguan yang terjadi, apakah penyempitan, penyumbatan, atau
penggelembungan pembuluh darah otak.
Ia
mengatakan sejauh ini sejumlah pasien yang ditangani dengan metode
tersebut mengalami kemajuan. Pada kesempatan itu, Media Indonesia juga
bertemu dengan pasien stroke yang mengaku kembali bisa berbicara dan menggerakkan kaki sesudah menjalani terapi itu.
Menurut
Terawan, Januari lalu ia dan timnya menangani sekitar 150 pasien dengan
berbagai gangguan pembuluh darah otak. Namun, ia enggan menyebut berapa
persen yang membaik dan berapa persen yang gagal.
Dalam
menjawab kontroversi yang terjadi, Terawan menganggap itu hal biasa di
dunia kedokteran. "Pro dan kontra mengenai terapi ini tidak mengapa
terjadi karena kontroversi itu merupakan bagian dari proses kemajuan
teknologi," ungkapnya sambil tertawa.
"Bahkan
penemuan penisilin pun dulu kontroversial, tapi sekarang hasilnya
sangat bermanfaat. Hal terpenting dari semua itu adalah bukti. Yaitu,
sudah ada pasien yang membaik. Ini merupakan kegiatan medis, bukan
main-main," tegasnya.
Pada akhirnya, keputusan dalam memilih terapi ada di tangan masyarakat.(*/H-1) eni@mediaindonesia.com (Eni Kartinah)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar