Selasa (22/3) sekitar
pukul 15.00, ayah saya datang ke Instalasi Gawat Darurat RSUD Tangerang karena
tiba-tiba sulit menelan dan lengan kananya lemas. Ia curiga itu tanda-tanda
stroke, yang pernah dua kali menyerangnya.
Namun, dokter jaga
justru menyuruh ayah saya pulang karena kondisinya dianggap tidak gawat dan
saat itu tak ada dokter spesialis saraf. Ayah juga disarankan berkonsultasi
dengan dokter saraf di rumah sakit swasta saja.
Di rumah, kondisi
ayah makin parah. Ia sama sekali tidak bisa minum dan menelan makanan. Lengannya
makin lemah. Ia kembali diantar ke IGD RSUD Tangerang. Namun, sejak tiba pukul
19.30 hingga saya menyusul tiga jam kemudian, tidak ada tindakan. Setahu saya
pasien stroke sebaiknya ditangani sebelum enam jam sejak serangan.
Alasan belum adanya
tindakan karena dokter belum mengecek statusnya. Setelah didesak, baru dokter mengecek
status ayah saya, yang diteruskan perawat dengan memberi infus, merekam jantung
(elektrokardiogram, EKG), cek laboratorium, dan CT (Computerized Tomography)
scan.
Namun, setelah itu
ayah saya diminta lagi menunggu dokter penanggung jawab ruangan, yang hingga pukul 06.00 tidak dapat dihubungi.
Ayah harus menunggu lagi untuk mendapatkan obat dan pindah ke kamar perawatan.
Akibat penanganan
yang bertele-tele, kondisi ayah makin buruk. Atas saran dokter spesialis saraf, kami
memindahkan ayah ke RS swasta untuk mendapat tindakan Digital Substraction
Angiography (DSA), untuk melihat kondisi pembuluh darah di otak. Menurut dokter
yang menangani ayah di RS ini, jika ditangani dalam 4,5 jam pertama setelah
serangan, kondisinya mungkin tidak seburuk ini.
Saya sangat kecewa
kepada RSUD Tangerang dan para petugas medisnya dalam melayani pasien, terutama
peserta BPJS Kesehatan. Mengapa mereka tidak peduli kepada pasien yang memercayakan
nyawanya kepada mereka? Padahal, di
dinding IGD terpampang moto RSUD Tangerang: “Memberikan Pelayanan Melebihi
Harapan Pelanggan”.
AMANDA
Jl Akasia, Kota Bumi,
Pasar Kemis, Tangerang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar